Rabu, 06 Januari 2010

Tradisi


Bubur ‘Asyura’, Tradisi yang Tak Lekang Ditelan Zaman

Oleh : Amirul Khair


Bagi umat Islam, tanggal 10 Muharram tahun hijriyah merupakan momen sakral yang tidak lepas dari perjalanan sejarah dalam Islam itu sendiri. Ada banyak peristiwa penting yang terjadi di masa abad-an silam di antaranya, diterimanya tobat Nabi Adam AS karena melanggar perintah Allah SWT agar tidak memakan ‘Buah Khuldi”.

Selain itu, keluarnya Nabi Yusuf AS dari dalam telaga dan Nabi Yunus AS dari perut ikan juga menjadi bagian peristiwa tanggal tersebut selalui diperingati dengan hari “Asyura” atau hari ke-10 dari bulan Muharram.

Bagi umat Islam suku Banjar di Desa Kubah Sentang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, setiap kali tanggal 10 Muharram tiba, selalu dilakukan tradisi yang sampai sekarang tak lekang ditelan zaman yakni, membuat bubur ‘Asyura’ yang kemudian dimakan secara bersama-sama.

Tahun ini, tradisi makan bubur “Asyura’ bersama ini dilaksanakan umat Islam suku Banjar Desa Kubah Sentang di Masjid Jami Dusun II, Jumat (1/1) bertepatan dengan tahun baru masehi 2010 namun tidak tepat tanggal 10 Muharram.

Pasalnya ungkap tokoh agama dan masyrakat suku Banjar setempat Buchri M, pelaksanaannya menunggu waktu masyarakat bisa berkumpul bersama dan hanya tepat untuk dilaksanakan hari Jumat usai melaksanakan salat fardu Jumat.

Tradisi makan bubur ‘Asyura’ bersama ini ungkap Ambi, tokoh suku Banjar lainnya, sudah menjadi tradisi sejak lama dan belum pernah tidak dilaksanakan setiap tahunnya meski dilaksanakan secara sederhana.

Konon menurut orangtua mereka, makan bersama bubur ‘Asyura’ berasal dari peristiwa pemboikotan kaum kafir quraisy kepada keluarga Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya sehingga umat Islam saat itu merasakan kelaparan dan terpaksa memakan berbagai dedaunan untuk bisa bertahan hidup.

Karenanya, pembuatan bubur ‘Asyura’ yang sebenarnya dikenal dengan bubur pedas sama seperti dengan suku Melayu. Namun ada perbedaan cara memasaknya. Kalau bubur pedas suku melayu cara memasaknya tidak dicampurkan dengan dedaunan. Tapi, pembuatan bubur pedas ‘Asyura’ di suku Banjar, semua dedaunan yang berjumlah puluhan tersebut dilebur menjadi satu dan dimasak langsung dengan bubur dari beras tersebut.

Silaturahim

Selain mengikuti tradisi yang berlaku di suku Banjar khususnya di Desa Kubah Sentang, tradisi makan bersama bubur ‘Asyura’ ini tambah Ambi, sebagai sarana untuk bersilaturahim dengan sesama masyarakat yang mungkin jarang berjumpa sehari-hari meski bertetangga.

Pembuatan bubur ‘Asyura’ dimasak bersama-sama kaum ibu dan bahan-bahannya dari masyarakat secara bergotongroyong kemudian disajikan kepada khalayak ramai yang datang berkumpul sehingga terjalin suasana kekeluargaan.

Kemasan acaranya juga dilakukan tidak formal. Layaknya seperti makan bersama keluarga di rumah, demikian juga tradisi makan bubur ‘Asyura’ bersama yang digelar masyarakat muslim suku Banjar Desa Kubah Sentang ini.

Saat Penulis ikut serta dalam tradisi tersebut, terasa suasana kebersamaan antar masyarakatnya. Kaum laki-laki baik tua, muda maupun anak, duduk sila bersama di atas lantai beralas tikar sambil menyantap bubur pedas ‘Asyura’.

Sementara kaum ibu, juga ikut makan bersama dan beberapa di antaranya sibuk melayani memasukkan bubur ke dalam piring satu persatu setelah dipindah dari kuali wadah memasak bubur ukuran besar di atas tungku api.

Teks Foto

BUBUR ASYURA : Masyarakat muslim suku Banjar Desa Kubah Sentang menyantap bubur ‘Asyura’ bersama-sama yang sudah menjadi tradisi setiap kali 10 Muharram tiba di Masjid Jami.

SIAPKAN : Kaum ibu menyiapkan bubur ‘Asyura’ untuk disantap bersama-sama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar