Senin, 19 Oktober 2009

Potret "Anak Itik"

Potret Buram Komunitas “Anak Itik” Menatap Masa Depan

OLEH : AMIRUL KHAIR

"KEMISKINAN" merupakan kata yang sangat sederhana dan sering kita dengar serta sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat terasa ‘pahit’ laksana empedu ketika merasakan penderitaannya.

Berbagai tindakan kriminal terjadi dikarenakan faktor kemiskinan. Seorang ibu terpaksa mencuri susu di sebuah swalayan di Kota Medan karena ketiadaan uang untuk membeli susu bagi anaknya yang masih kecil agar bisa tetap bertahan hidup. Komplotan pengedar ganja dari Aceh terpaksa meringkuk di sel tahanan Kepolisian Sumatera Utara ketika tertangkap tangan oleh petugas saat membawa barang haram tersebut untuk dipasarkan dan beralasan melakukannya karena tidak memiliki pekerjaan.

Bahkan seorang ibu rela mengeksploitasi anak gadisnya sebagai pelacur untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang terbentur dengan serba kekurangan finansial. Semuanya berangkat dari kemiskinan yang menciptakan karakter rakyat Indonesia nekat dan putus asa menjalani kehidupan sehingga tidak lagi berpikir secara rasional.

Esensi semua permasalahan ini sebenarnya tetap mengarah pada faktor kemiskinan sebagai ‘penyakit’ sosial dan sumber dari implikasi berbagai multi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

‘Senandung’ pilu ini (kemiskinan) masih banyak kita jumpai di belahan bumi nusantara Indonesia yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Potret buram kehidupan rakyat Indonesia yang berada dalam lingkaran kemiskinan dengan berbagai bentuk penderitaan menjadi pemandangan di setiap sudut daerah yang sampai hari ini genap 100 tahun kebangkitan nasional.

Sepertinya kita tidak siap untuk menjadi bangsa yang maju dengan kehidupan sejahtera yang merata dan tetap berkutat mendengar irama dan nada kemiskinan yang menjadi ‘senandung’ pilu kegetiran hati nurani rakyat. Sisi ini pula yang menyebabkan komunitas “Anak Itik” di pinggiran pesisir Pantai Cermin Serdang Bedagai dan Pantai Labu Deli Serdang Sumatera Utara meratap pilu dalam menatap masa depan mereka yang seakan tertutup ‘kabut’ ketidakjelasan.

Komunitas “Anak Itik”

Istilah “anak itik” merupakan sebutan terhadap anak-anak yang setiap hari bekerja membersihkan sampan setiap kali nelayan sepulang dari melaut. Bahkan sebenarnya, istilah “anak itik” juga berlaku bagi mereka yang sudah dewasa, berumahtangga bahkan sampai kakek-kakek bila pekerjaannya membersihkan sampan, menyiapkan perbekalan melaut nelayan sampai menjaga sampan yang tertambat di setiap bagan (tangkahan).

Tidak diketahui siapa yang pertama mencetuskan istilah ini.. Namun setidaknya, istilah ini menurut Basri (63) warga Pantai Cermin terilhami dari ekspresi anak-anak yang mengejar sampan setiap kali nelayan pulang dari melaut persis seperti anak itik ketika akan diberi makan tuannya.

Kehidupan komunitas “anak itik” yang berada di pesisir pantai (dalam konteks tulisan ini fokus terhadap “anak itik’ yang berusia produktif masih belajar) merupakan lakon kehidupan yang sudah menjadi ‘warisan’ turun-temurun yang memiliki sisi kehidupan memprihatinkan. Masa depan mereka untuk menjadi lebih baik lagi melihat fakta yang ada sangat diragukan mengingat mayoritas mereka adalah anak putus sekolah.

Komunitas ini mencerminkan potret kehidupan kelompok masyarakat ‘biasa’ yang ‘luar biasa’. Disebut biasa, karena memang kemiskinan bukan saja dialami komunitas “anak itik’ melainkan jutaan sisi kehidupan masyarakat lainnya yang merasakan hal sama.

Akan tetapi, fenomena ini juga ‘luar biasa’ karena seakan terus dibiarkan tanpa solusi sehingga menancapkan ‘akar’ nya jauh ke dalam bumi sehingga tertancap kuat dan akan sulit untuk membongkarnya kembali.

SISI KEHIDUPAN MEMILUKAN

Selain putus sekolah, mereka juga ‘diselimuti’ kemiskinan yang terus ‘mengintip’ dan sewaktu-waktu kemiskinan tersebut juga dapat menyerang keberlanjutan pendidikan mereka. Kalau mereka tidak lagi mengecap pendidikan dalam usia produktif untuk belajar, mungkinkah masa depan mereka tercerahkan ?

Azhari (15) dan Rudi (15) misalnya, kedua bocah yang tinggal di Pantai Cermin Serdang Bedagai ini terpaksa berhenti sekolah saat berada di bangku Sekolah Dasar (SD). Dikarenakan ekonomi keluarga tidak bisa melanjutkan biaya sekolah keduanya, ditambah lagi kebutuhan ekonomi sehari-hari, pilihan berhenti sekolah terpaksa dilakukan.

“Untuk memenuhi kebutuhan pokok saja kami belum tentu bisa, apalagi buat kebutuhan sekolah. Karena sudah tidak sekolah, saya bekerja menjadi “anak itik” untuk mendapatkan uang jajan sendiri” cerita Azhar mengungkap penyebab dirinya putus sekolah.

Cerita sama diungkapkan Rachmad warga Pantai Labu Deli Serdang yang mengaku, awalnya karena orangtuanya tidak mampu lagi membiayai sekolahnya dirinya berhenti sekolah di tingkat SD. Untuk mencari uang jajan sehari-hari, mencuci sampan nelayan dilakukannya.

Kebiasaan ini terus berlanjut dan menjadi semacam ‘candu’ dikarenakan bisa menghasilkan uang cukup lumayan berkisar Rp100-200 ribu/per hari dengan catatan bila tangkapan nelayan juga banyak. Tapi bisa juga tidak mendapatkan sepeser pun atau hanya Rp.2.000, Rp3.000 - Rp Rp20.000 saja.

Lain lagi cerita Agus (15) warga Pantai Cermin Serdang Bedagai. Dirinya terpaksa menjadi “anak itik” sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan sekolah yang kini duduk dibangku tsanawiyah (setingkat SMP) dikarenakan keuangan orangtuanya yang hanya berlakon sebagai buruh nelayan tidak bisa mencukupi kebutuhan sekolahnya. Dan masih banyak lagi cerita dari puluhan komunitas “anak itik” ini yang cukup memilukan.

Ketua Kelompok Nelayan Usaha Karya Pantai Cermin, Darma ketika ditemui mengatakan, komunitas “anak itik” merupakan sisi kehidupan yang memilukan. Mayoritas mereka adalah anak-anak yang usianya masih produktif untuk beljar.

“Faktor kemiskinan yang memaksa mereka menjadi anak-anak putus sekolah dan harus bekerja sebagai “anak itik”. Ya..itulah keadaan mereka.” tandasnya seraya memprediksikan kuantitas komunitas “anak itik” untuk Desa Pantai Cermin Kanan saja berkisar 30-an.

Untuk mencerahkan nasib komunitas “anak itik”, Kelompok Nelayan Usaha Karya sekira 6 bulan lalu sudah meluncurkan profil kehidupan komunitas “anak itik” dengan tujuan agar mendapat perhatian pemerintah namun sampai sekarang belum juga ada respon.

Dari hasil penelitian studi kasus terhadap komunitas “anak itik” di Pantai Cermin yang dilakukan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Institut Pembaharuan Desa (IPD) Sumatera Utara pada tahun 2007 lalu menyimpulkan bahwa komunitas “anak itik’ merupakan kelompok marjinal (terpinggir) yang tidak punya akses pendidikan dan penyebab utamanya karena faktor kemiskinan.

Direktur IPD Syamsul Bahri S Ag ketika dikonfirmasi memaparkan, dari penelitian studi kasus tentang komunitas “anak itik’ di Pantai Cermin Serdang Bedagai, mayoritas dikarenakan perekonomian keluarga yang tidak mencukupi bukan saja untuk kebutuhan seperti sekolah dan jajan sehari-hari, tapi untuk kebutuhan pokok pun tidak terpenuhi.

Dari penelitian tersebut kata Syamsul, terungkap bahwa motivasi mereka melakoni kehidupan sebagai “anak itik” setidaknya ada 5 klasifikasi yakni, karena sudah tidak sekolah, disuruh orngtua membantu perekonomian keluarga, ingin memiliki penghasilan sendiri, untuk memenuhi biaya kebutuhan sekolah dan terpengaruh ajakan teman.

Motivasi yang diungkapkan komunitas “anak itik” seperti, untuk membiayai kebutuhan sekolah, membantu kebutuhan ekonomi keluarga dan putus sekolah merupakan faktor yang bersumber dari keluarga. Dalam artian bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan tanggung jawab keluarga untuk memenuhinya.

Namun seperti alasan yang dikemukakan oleh anak-anak bahwa keluarga mereka tidak mampu untuk menyediakan kebutuhan mereka karena kondisi sosial ekonominya yang rendah, faktor dari keluarga ini merupakan latar belakang yang menonjol mendorong anak untuk bekerja.

Sedangkan motivasi anak ingin memiliki penghasilan sendiri dan pengalaman relatif kecil. Karena pada dasarnya keinginan mempunyai penghasilan sendiri juga awalnya karena keluarga tidak bisa mengenali apa yang dibutuhkan si anak. Dan klasifikasi motivasi terpengaruh ajakan teman berasal dari lingkungan. Dalam berfikir dan bertingkah laku, manusia dihadapkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta sosial. Fakta sosial menggambarkan hampir seluruh anak-anak yang tinggal di sekitar daerah bagan bekerja sebagai “anak itik” dan tidak sekolah.

Dari fakta yang ada terhadap kehidupan komunitas “anak itik’ ini jelas Syamsul lagi, belitan kemiskinan struktural yang tidak kunjung selesai membuat kehidupan masyarakat pesisir semakin terpuruk. Secara umum, ketidakmampuan masyarakat pesisir mengatasi kesulitan ekonomi keluarga dan orientasi hidup yang kurang apresiatif terhadap pendidikan membuat banyak keluarga masyarakat pesisir “membiarkan’ anak mereka putus sekolah.

Realitas komunitas “anak itik’ ini merupakan satu sisi kehidupan masyarakat kita yang berada di kawasan pesisir pantai nusantara ini. Potret buram mereka sebagai komunitas yang tidak mendapatkan akses pendidikan karena kemiskinan merupakan kenyataan ‘pahit’ namun tidak terbantahkan.

Sebuah tajukrencana yang dilansir Media “Pikiran Rakyat” 10 Pebruari 1998 lalu isinya cukup menyentak dan memotivasi kita untuk bersikap konstruktif dalam menyikapi faktualitas kondisi kehidupan bangsa Indonesia hari ini.

Dituliskan, pemerintah daerah, masyarakat sekitar tak perlu malu, jika ada warganya yang menderita kelaparan. Pemerintah daerah dan masyarakat tak perlu menutup-nutupi kenyataan pahit ini, tapi justru membukanya agar seluruh potensi dalam bangsa kita saling bahu membahu bergotongroyong untuk saling tolong menolong. Kita tak perlu malu, karena sekarang ini adalah tahun-tahun musibah.

Tahun 1997, Indonesia mengalami musim kemarau yang panjang, hutan-hutan terbakar, krisis moneter, dan banyaknya pemutusan hubungan kerja. Dan dari seluruh musibah itu mulai terasa sekarang, apalagi krisis moneter masih terus berlanjut, sehingga seluruh bahan makanan naik harganya. Kita tak perlu malu, karena ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi bersama. Menutup-nutupi masalah ini berarti membiarkan sebagian masyarakat kita yang menderita tambah menderita sampai ke ajal tanpa pertolongan….

Membuka tabir ’kekelaman’ yang dialami komunitas “anak itik’ yang berada di pesisir pantai di atas, hendaknya terutama pemerintah, segera mencarikan solusi guna mengurangi tingginya angka putus sekolah sehingga mereka bisa tetap mendapatkan pendidikan dan meraih masa depan yang lebih baik.

Semoga potret buram komunitas “anak itik” di pesisir dapat tercerahkan secerah mentari pagi yang bersinar dengan tebaran manfaat bagi seluruh penghuni planet bumi.




Liputan Kemanusiaan


Senandung Kemanusian Dibalik Mega Proyek Bandara Kualanamu

Oleh : Amirul Khair

DAMPAK SOSIAL : Sulitnya nelayan tradisional di pesisir

Pantai Labu mendapatkan tangkapan laut

menjadi salah satu dampak sosial dari megaproyek bandara Kualana



GELOMBANG pasang air laut sore itu, sekira Pukul 16.30 WIB terdengar menderu dengan terpaan angin lumayan menyejukkan mengurangi hawa panas dari terik matahari yang masih gagah menyinari bumi. Beberapa sampan nelayan terlihat lalu lalang dengan iringan suara mesin seperti ‘alunan’ musik yang menjadi hiburan bagi para pengunjung yang sedang asyik bersantai di gubuk-gubuk beratapkan rumbia di pinggiran perairan Pantai Labu Deli Serdang Sumatera Utara sembari menikmati ikan ‘Sombam’ (panggang) dan jenis seafood (makanan laut) lainnya.


Biasanya pemandangan lain yang bisa dinikmati di pingiran perairan Pantai Labu ini yakni, aktivitas para nelayan mencari kepah yang kini tidak lagi terlihat sejak kawasan tersebut menjadi areal pengerukan pasir.


Material pasir yang dikeruk tersebut menurut informasi mencapai sekira 6-10 juta kubik yang digunakan untuk pembangunan mega proyek bandar udara (bandara) internasional Kualanamu pengganti bandara Polonia Medan yang kini sedang dalam proses dan awalnya diperkirakan akan selesai tahun 2009 meski kurang meyakinkan dengan faktualitas di lapangan.


Pembangunan bandara internasional Kualanamu yang diproyeksikan akan menjadi bandara terbesar kedua di Indonesia setelah bandara Soekarni-Hatta Jakarta merupakan mega proyek yang menelan biaya triliunan rupiah.

Kawasan pembangunan bandara ini secara administratif berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang yang melibatkan dua kecamatan yakni, Kecamatan Pantai Labu dan Beringin.


Keberadaan pembangunan Bandara Internasional Kualanamu memiliki kekuatan ‘magnetis’ bagi wilayah sekitarnya. Daerah sekitarnya seperti Kecamatan Pantai Labu laksana disulap dari sampah menjadi emas. Indikasi ini bisa dilihat dari melonjaknya harga penjualan tanah. Semula kurang memiliki nilai jual menjadikan pemiliknya kaya mendadak.


Menurut Umar Baki (60) warga Dusun III Desa Durian Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang yang sejak lahir sudah menetap di sekitar kawasa pembangunan Bandara Kualanamu mengatakan, dulu harga tanah per rantenya hanya 2-3 juta. Perlahan tapi pasti, seiring dengan mulai dibangunnya bandara tersebut, harga tanah per rantenya melonjak tinggi


“Harganya bisa mencapai Rp20 juta per rante. Bahkan mencapai Rp50 juta.. Bergantung lokasinya, Kalau di pinggir jalan, harganya sudah tinggi’ ujarnya.


Pantai Labu sebagai kawasan daerah pesisir dalam kurun waktu yang panjang kurang tersentuh perhatian pemerintah dalam program pembangunan. Namun sejak kawasan tersebut menjadi bagian daerah pembangunan bandara Internasional Kualanamu bersama Kecamatan Beringin, berbagai pembangunan mulai memoles kawasan yang mengandalkan kekayaan bahari dan pertanian yang mayoritas masih menggunakan sistem sawah tadah.


Dampak Sosial dan Lingkungan

Setiap pembangunan pasti memiliki konsekuensi positif dan negatif. Kalau mega proyek pembangunan bandara Kualanamu berdampak kepada percepatan pembangunan di daerah sekitarnya, konsekuensi negatif juga menjadi bagian dari dampak pembangunan bandara yang bakal menjadi ‘pintu’ masuk dan keluar transaksi internasional.


Idealnya, sebuah pembangunan meski memiliki konsekuensi, namun tidak harus mengorbankan masyarakat dan lingkungan sekitar yang sifatnya merugikan. Apalagi bila konsekuensi tersebut merenggut hak-hak azasi selaku manusia (HAM) anugerah dari Sang Maha Kuasa.


Realitas di lapangan menunjukkan, pembangunan bandara Kualanamu telah menyisakan dampak sosial yang kurang manusiawi kepada masyarakat sekitar kawasan bandara tersebut akibat tindakan dan kebijakan sepihak oknum-oknum tertentu yang lebih berorientasi kepada kepentingan pribadi dan sekelompok orang.


Salah satu dampak sosial yang terjadi dan masih menjadi persoalan pelik yakni, rusaknya ekosistem perairan dan pesisir Pantai Labu yang dampak negatifnya sangat dirasakan masyarakat.


Pasca pengerukan pasir di kawasan perairan Pantai Labu yang langsung terhubung dengan Selat Malaka, masyarakat yang berlakon sebagai nelayan tradisional mendapat masalah baru. Pasalnya, hasil laut semakin berkurang yang berimplikasi langsung terhadap pendapatan mereka per hari guna mencukupi kebutuhan hidup.


“Biasanya, setiap kali air laut sedang surut, tangkapan seperti kepah menjadi uang tambahan” ungkap Hasanah salah seorang warga yang sempat penulis konfirmasi di lokasi Pantai Baru Desa Pantai Labu Pekan tempat sehari-harinya ia mencari kepah.


Senada dengan Hasanah, Mahlil (34) warga Desa Sarang Burung yang mengaku sejak kecil sudah melaut bahkan sampai beristeri dan memiliki anak saat sekarang ini, mengeluhkan pendapatannya yang menurun drastis dari sebelumnya pasca pengerukan pasir di Perairan Pantai Labu.


Keluhan sama juga diungkapkan beberapa nelayan di tangkahan Dusun Pematang Nibung Desa Pantai Labu Pekan. Hafiz tokoh nelayan yang sehari-hari menampung hasil tangkapan nelayan tradisional di tangkahan ini juga mengatakan, pasca pengerukan pasir menyebabkan muara sungai yang menjadi lintasan keluar dan masuk sampan-sampan nelayan menjadi tidak efektif.











Teks Foto :

TUMBANGKAN :

Pengerukan pasir di Perairan Pantai Labu untuk

material pembangunan bakal bandara Kualanamu

menyebabkan abrasi dan menumbangkan

pepohonan yang berada di sebagian pesisir pantai tersebut.



Penyebabnya, kondisi air muara sungai tersebut sering mengalami penyusutan tinggi sehingga sampan-sampan tidak lagi bebas melintas dan harus menunggu air pasang mencapai debit lebih tinggi.


“Ini baru salah satu masalah. Masih banyak lagi masalah lain seperti, hasil tangkapan laut berkurang karena ikan semakin sedikit, Di Perairan Pantai Labu ini gak ada lagi terumbu karangnya. Sudah rusak semua. Otomatis gak ada lagi ikannya” papar Hafiz seraya menegaskan, butuh perhatian serius dari pemerintah dan instansi terkait.


Dampak sosial bagi masyarakat lainnya dari pembangunan bandara Kualanamu tidak saja menyebabkan sumber pendapatan ribuan nelayan khususnya tradisonal yang mengandalkan hasil tangkapan laut di perairan Pantai Labu menjadi berkurang. Tapi juga dapat mengancam keselamatan jiwa masyarakat sekitarnya.


Meski masih berkutat pada pro kontra, terkait pengerukan pasir di perairan Pantai Labu mencapai jutaan kubik untuk material pembangunan bandara Kualanamu, dampak negatifnya mulai terasa.


Abrasi pantai di sepanjang bibir pantai yang berpasir kini menjadi pemandangan yang sedikit demi sedikit terus mengancam. Kurun waktu sekira 4-5 bulan terakhir ini kata Tengku Ridwan, pengelola Pantai Muara Indah Desa Denai Kuala, sedikitnya 4-5 meter bibir pantai mengalami abrasi akibat pengerukan pasir yang dikerjakan tanpa perencanaan matang terhadap dampak negatifnya.


Akibatnya, tidak bibir pantai saja yang menjadi korban abrasi, kawasan pengayaan hutan bakau seluas 20 hektar yang disponsori Dinas Kehutanan Pemkab Deli Serdang juga sudah mulai terancam dengan banyaknya pepohonan yang tumbang disebabkan tidak kuat lagi menahan terjangan ombak laut dari arah Selat Malaka.


Kondisi memprihatinkan implikasi sosial dari pembangunan bandara Kualanamu ini turut dirasakan masyarakat Kecamatan Beringin khususnya sepanjang jalan yang menjadi lintasan ratusan bahkan ribuan transportasi pengangkut material dengan tonase tinggi.


Kabulan, warga Desa Beringin Kecamatan Beringin mengaku terganggu dan resah. Debu yang berterbangan berasal dari angkutan-angkutan proyek yang melintas menjadi ‘makanan’ rutin mereka setiap hari.


“Masyarakat sini, kalau panas.makan debu, kalau hujan makan lumpur” ungkapnya.seraya memprediksikan angka masyarakat yang mengaami penyakit ISPA disebabkan debu tersebut akan tinggi.


Jangan Korbankan

Pembangunan merupakan kemutlakan yang meski dilakukan. Tidak ada kemajuan suatu daerah tanpa adanya pembangunan. Akan tetapi, apapun alasannya, sebuah program pembangunan tidak boleh apalagi dibenarkan untuk mengorbankan rakyat. Sebab, rakyat merupakan elemen terpenting yang harus dibela dan pembangunan itu sendiri wajib dalam rangka meningkatkan dan menyejahterakan rakyat.


Ungkap Direktur Eksekutif Institut Pembaharuan Desa (IPD) Syamsul Bahri menyikapi implikasi yang terjadi dari konsekuensi pembangunan bandara Kualanamu yang bermanfaat bagi kemajuan daerah namun masih menyisakan catatan pilu bagi masyarakat sekitarnya.


Seharusnya, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih mementingkan keselamaatan dan kesejahteraan rakyat dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang terjadi implikasi dari sebuah program pembangunan.

Eksplorasi kekayaan alam dan bila benar pengerukan pasir yang dilakukan melewati ambang batas sehingga berdampak rusaknya ekosistem alam dan mengancam masyarakat, maka perlu dilakukan peninjauan kembali atas program pembangunan tersebut.


Ungkapan senada juga dilontarkan Sekretaris Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Sumatera Utara Oslida Martony SKM M Kes, bahwa pembangunan jangan mengorbankan sisi kesehatan masyarakat sebagai hak azasi manusia (HAM) yang harus mereka terima.


“Tidak ada gunanya masyarakat sejahtera tapi tidak sehat. Dan logikanya, tidak mungkin ada orang yang tidak sehat hidupnya bisa sejahtera” tandasnya.


Untuk itu, pembangunan yang ideal harus bisa bersinerji dengan sisi lain dari kehidupan masyarakat sekitarnya termasuk kesehatan masyarakat. Tidak bisa tidak, pembangunan jangan sampai mengorbankan kesehatan masyarakat.


“Tidak bisa sebuah pembangunan itu dikatakan berhasil bila kesehatan masyarakatnya terganggu” tandas Oslida.

Sementara aktvis lingkungan hidup yang juga mantan Direktur Eksekutif “Lentik” Rajidt Charamsah menegaskan, sebuah pembangunan sedikitnya merujuk kepada 4 konsep ideal yang langsung bersinggungan dengan masyarakat.


Pertama, kedaulatan rakyat sebagai penarik manfaat dari kekayaan ekologis yang ada yakni masyarakat itu sendiri tidak boleh diabaikan. Kedua, jaminan keberlangsungan fungsi kawasan ekologi yang menjadi harapan dan sumber pendapatan tetap bagi masyarakat. Sebab, bila jaminan keberlangsungan ini tidak dijaga, maka sumber pendapatan masyarakat itu juga turut terhenti.


Selanjutnya yang ketiga, distribusi adil terhadap pemanfaatan ekonomi bagi masyarakat sekitar sehingga masyarakat ikut serta merasakan manfaat pembangunan sesuai dengan kelayakan dan potensi yang dimiliki.


Keempat, pengelolaan terpadu beragam kepentingan dalam skala yang tepat. Artinya, semua manusia punya kepentingan. Pemerintah, pihak pengembang dan masyarakat punya kepentingan. Pembangunan bandara Kualanamu terkait kepetingan berbagai pihak, namun tidak menjadikan kepentingan tersebut mengabaikan kepentingan orang banyak.


Godaan Kultur

Permasalahan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat implikasi dari sebuah pembangunan tidak terlepas dari godaan kultur yang ada Godaan kultur inilah yang menjadi hambatan sinerjisasi pembangunan sehingga percepatannya terhambat.


Sedikitnya papar Rajidt lagi, ada 5 macam godaan kultur yang terjadi di masyarakat dan sangat menggangu akselerasi sebuah pembungan dimana saja ,bila godaan kultur ini tidak bisa diatasi.


Kultur ’Mulung’merupakan karakter masyarakat pemalas yang ingin memanen tanpa menanam. Kultur ini menyebabkan seseorang tidak peduli dengan hak-hak orang lain. Baginya, yang penting menghasilkan dan menguntungkan untuk dirinya.


Selanjutnya, kultur ‘instan’ menjadi mental negatif yang tumbuh di masyarakat dengan prinsip, sedikit bekerja tapi mau untung besar yang tidak sesuai dengan potensinya. Kultur negatif lainnya bersifat ‘klenik’ yakni, ingin mendapatkan keuntungan melalui jalan pintas yang tidak wajar dan tidak dbenarkan baik norma agama, sosial maupun hukum..


Godaan kultur yang banyak diidap masyarakat dan sangat berbahaya adalah kultur ‘porno’. Kultur ini telah membuat pelakunya tidak lagi mempertimbangkan rasa malu sehingga seenaknya saja berbuat meski apa yang dilakukannya merampas hak-hak orang lain.


Godaan kultur ini jelas Rajidt, sangat berbahaya. Ada istilah “urat rasa malunya sudah putus” sehingga apapun masukan positif tidak akan berlaku bagi tipe masyarakat yang sudah mengidap kultur ‘porno’ ini.


Dan yang terakhir, sering dan tanpa disadari, kita sering “Unjuk gigi” dengan tujuan negatif. Kultur ‘Pamer’ juga menjadi salah satu kultur yang sering dan banyak dijumpai di masyarakat sehingga sulit bagi kita semua untuk bisa menghasilkan pembangunan bila kultur ini masih melekat.


Menurut Rajidt, semua godaan kultur yang telah dipaparkan harus diubah bila ingin mencapai 4 konsep ideal pembangunan yang lebih baik meski masih banyak aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan.


Semoga pembangunan bandara Kualanamu bisa berimplikasi positif bagi masyarakat khususnya mereka yang berdomisili di sekitar kawasan bakal bandara tersebut. Jangan sampai senandung kemanusiaan ini terus menggaung, ‘menghiasi’ dan mendambah daftar baru masyrakat yang tercederai akibat pembangunan.



* Liputan Ini diikutsertakan pada lomba jurnalistik Anugerah Adiwarta Sempoerna Awrad 2009 dan masih dalam proses penilaian


Minggu, 18 Oktober 2009

Profil : OK KHAIDAR ASWAN


Drs OK Khaidar Aswan

Merajut Kampung Halaman Menuju Pusat Pemberdayaan Masyarakat

Oleh : Amirul Khair

Bagi yang belum tahu dan kenal, atau yang masih hanya mendengar namanya saja, pasti sulit untuk mencari orangnya. Tidak bisa ‘dibaca’ dari penampilan fisik atau pun karakter pergaulannya.

Penampilannya biasa saja. Tidak terlihat seperti orang sukses dari penampilan fisiknya sehari-hari. Bahkan karakter pergaulannya sulit untuk dibedakan. Sederhana, membumi dalam berinteraksi di lingkungan kehidupan sosial dan tidak formalistik terhadap anaggota maupun karyawannya.

Sosok yang penulis maksudkan bernama lengkap Drs OK Khaidar Aswan. Seorang pengusaha sukses dilahirkan di bumi melayu Batang Kuis Deli Serdang Sumatera Utara 1 Desember 1962.

Gaya kehidupannya yang sederhana dan sangat ‘supel’ dalam pergaulan meski sudah sukses membangun

bisnis dengan membawa bendera PT Deli Trans Dirgantara, suami Hj Nurma dan ayah dari 4 anak (Nuzila, Harisda Yulidaini serta si bungsu Anjas Asmara) ini mengaku, pengalaman sejarah hidupnya yang pahit telah menempa dirinya menjadi orang berkarakter yang tidak pernah “lupa dengan kulitnya”

Berjualan kue, minuman campur, doorsmer, warung buku bacaan serta pekerjaan apa saja yang bisa menghasilkan uang dilakoni mantan pemain klub kebanggaan anak Medan PSMS era 80 an ini demi menggapai cita-citanya.

Kerja keras dan semangat pantang menyerah yang dipegang teguh pria bertubuh gempal ini telah menjadikan dirinya menjadi pengusaha sukses diberbagai bidang dan kini masih dipercaya menjabat sebagai Koordinator PKBL Pertamina Regional 1 Sumatera Bagian Utara.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Sebagai seorang pebisnis, OK Khaidar Aswan yang juga tokoh melayu gelar Datuk Muda Paduka Diraja anugerah dari Sultan Serdang merupakan sosok yang sulit untuk dipahami cara berpikirnya. Orientasi bisnis lewat teori ekonomi “dengan modal sekecil-kecilnya menghasilkan untung sebesar-besarnya ” dalam sudut pandang penulis justeru berbanding terbalik.

Banyak kegiatan bisnis terkesan menghamburkan uang dan secara kasat mata tidak efektif untuk membangun sebuah bisnis, justeru dilakukan Khaidar yang ternyata berpikir jauh ke depan dengan melandaskan manfaat dan keuntungan jangka panjang yang bisa dibagi kepada orang banyak.

“Hati Emas” dan sifat peduli terhadap masyarakat khususnya di sekitar Batang Kuis terlihat dari kecerdasan OK Khaidar yang secara khusus membangun sebuah kawasan di Batang Kuis yang dinamakannya dengan “Kampeng Niaga Dirgantara” yang baru beberapa bulan diresmikan.

Kampoeng Niaga Dirgantara merupakan salah satu konsep bisnis sebagai upaya merajut kampung halamannya menuju pusat pemberdayaan masyarakat. Di kawasan ini, Khaidar menambatkan cita-citanya agar Batang Kuis menjadi daerah maju seiring dengan potensinya ke depan yang bakal menjadi “Kota Transit” pasca operasional Bandar Udara (Bandara) Internasional Kualanamu yang jaraknya tidak begitu jauh.

Upaya memberdayakan potensi masyarakat menuju kesejahteraan berbasis pendidikan dan ekonomi kerakyatan merupakan kerangka bisnis yang ditawarkan Kampoeng Niaga Dirgantara dengan harapan beberapa tahun ke depan akan sulit dicari orang-orang yang hidup dalam belenggu kemiskinan yang menjadi ‘hantu’ bagi rakyat kecil.

“Tantangannya cukup berat dan tidak bisa dilihat sekarang, karena program ini jangka panjang. Tapi ke depan, beberapa tahun lagi, saya yakin Kampoeng Niaga Dirgantara bakal maju dan masyarakat bisa merasakan manfaatnya” ungkapnya dengan nada optimis.

KARYA NYATA

Teori pemberdayaan ini bukan sekadar teori. Langkah kuantum Khaidar dalam pemberdayaan masyarakat sudah menjelma dalam bentuk perbuatan karya nyata. Ribuan masyarakat perdesaan sudah merasakan program-programnya.

Lewat usahanya di sektor pemberdayaan para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui Baitul Mal waa Tamwil (BMT) Dirgantara, ribuan pelaku UKM sudah merasakan manfaat dan bantuan lembaga keuangan syariah yang didirikannya ini.

Peluang kerja dalam menekan angka pengangguran juga implikasi konkrit dari mimpi spektakulernya denang banyak membuka usaha-usaha yang sudah ribuan orang terbantu termasuk bisnis transportasi selaku elemen pendukung sirkulasi bisnis masyarakat.

Visi Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin untuk menjadikan masyarakat Sumut tidak bodoh disahutinya dengan membuka Training Center Dirgantara yang sangat terjangkau.dengan kemampuan masyarakat perdesaan.

Dari sudut pandang penulis, impian Khaidar yang ingin menjadikan kampung halamannya Batang Kuis menjadi pusat pemberdayaan lewat konsep Kampoeng Niaga Dirgantara tidak terpikir dibenak penulis.

Tapi ada pepatah mengatakan, “sekeras-keras batu karang, akan membentuk lengkungan bila ditimpa setitik air yang terus menerus” dengan artian, tidak ada yang tidak mungkin terjadi bila ada kemauan dan semangat untuk berbuat secara terus menerus..


Ekonomi Mikro Syariah

BMT, ‘Nadi’ Orang Kecil yang Butuh ‘Infus’

Oleh : Amirul Khair


DUNIA usaha yang menjadi elemen akselerasi perekonomian tidak mungkin bisa maju dan berkembang bila tidak didukung keberadaan perbankan sehat baik konvensional terlebih perbankan syariah yang saat ini terus mengalami ‘booming’.

Jutaan pelaku usaha sangat terbantu dengan keberadaan perbankan yang mendapatkan kucuran modal ‘segar’ sehingga bisa mengembangkan bisnis yang tentunya disesuaikan dengan proyeksi potensi perkembangan pasar.

Akan tetapi keberadaan bank-bank tersebut ternyata belum mampu berpihak secara adil dalam melayani setiap orang. Bagi pelaku bisnis kelas atas, keberadaan perbankan sangat positif dalam membantu bisnis yang mereka geluti.

Proses dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa menikmati dana perbankan hanya bisa dipenuhi orang-orang yang notabenenya sudah kaya sehingga benar apa kata Raja Dangdut Rhoma Irama “ Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin”.

Bagi kalangan bawah, tepatnya pelaku UKM yang tidak memiliki sesuatu yang dapat dijadikan agunan justeru tidak bisa menikmati keberadaan perbankan alias gigit jari tatkala orang-orang kelas elit dengan mudah menikmati kucuran dana yang dipinjamkan pihak perbankan.

‘Nadi’ Orang Kecil

Solusi bagi permasalahan orang kecil dalam mencari dana untuk modal usaha agak sedikit tercerahkan dengan keberadaan sistem ekonomi syariah bagi pelaku ekonomi mikro yang dilembagakan salah satunya melalui Baitul Mal wat Tamwil (BMT).

Menurut praktisi BMT Drs OK Khaidar Aswan, BMT merupakan ‘nadi’ bagi orang-orang kecil yang ingin maju dan berkembang dalam meningkatkan kualitas kesejahteraannya di tengah ketidakberpihakan bank konvensional.

BMT memiliki sistem yang bersih ketimbang bank konvensional dan sangat terjangkau bagi pelaku UKM. Potensi pemberdayaan terhadap ekonomi mikro lebih besar diperankan BMT yang sebenarnya sudah digulirkan sejak zaman pemerintahan mantan Presiden Soeharto.

Peran BMT menjangkau pelayanan bagi pelaku ekonomi mikro lebih efektif. Selain persyaratan ringan, sistem pembinaannya juga mengakar sehingga nasabah yang mendapatkan pinjaman modal penguatan usaha diorientasikan bisa memberdayakan modal yang diberikan menjadi lebih produktif.

Pemberian modal pinjaman penguatan usaha saja kepada pelaku ekonomi mikro tanpa pembinaan justeru bisa membuat mereka ‘terjerat’ dengan hutang yang malah membuat usaha mereka hancur. Ini artinya, pemberian modal pinjaman jangan dilepas begitu saja tanpa ada ikatan psikologis lewat pembinaan.

Butuh ‘Infus’

Program pemerintah berupaya agar BMT mampu berkembang pesat merujuk kepada peran dan fungsinya terlebih jangkauan yang lebih mengakar khususnya ke pedesaan dan pelaku UKM. Begitu pentingnya peranan yang dipegang BMT selaku semacam ‘Perpanjangan” tangan pemerintah yang harus diakui bahwa kemampuan bertahan ekonomi kerakyatan sektor UKM telah menopang perekonomian nasional tatkala negeri ini diterpa krisis ekonomi.

Sayangnya ungkap Khaidar, pemerintah dinilai tidak serius dalam melakukan pembinaan terhadap lembaga BMT sehingga banyak yang berjalan di tempat bahkan harus berhenti beroperasi akibat tidak mampu memenuhi biaya operasional serta melayni kebutuhan nasabahnya.

Sebagai ’nadi’ orang kecil, kebanyakan BMT mengalami kendala penguatan dana untuk bisa berkembang dan maju. Lembaga ekonomi mikro syariah ini membutuhkan ‘infus’ dari pemerintah berupa penguatan dana sehingga pengembangannya juga lebih akseleratif dan konsekuensinya juga berdampak positif bagi dunia usaha mikro.

Tidak banyak BMT yang mampu bertahan bila tidak didukung pemerintah. Kemandirian lembaga ini sangat ditentukan penyangga penguatan dana yang cukup sehingga mampu berinovasi lewat program-programnya.

Karenanya, pemerintah harus serius memperhatikan perkembangan dunia BMT agar targetnya tidak sekadar mencanangkan program. Tapi diiring dengan pembinaan aktif sehingga mampu menciptakan BMT-BMT mandiri yang kuat.

Jangan biarkan denyut nadi orang-orang kecil ini berhenti. Pemerintah harus segera memberikan dan memasang ‘infus’ demi kelangsungan BMT yang sangat strategis dalam menyejahterakan masyarakat bawah demi bangkitnya ekonomi kerakyatan yang bukan sekadar retorika belaka. Semoga.

H. Sabar Ginting : "Di Pundak Saya Melekat Amanah Besar dari Rakyat”


Ada ungkapan bijak mengatakan, “Sabar itu seperti pahitnya rasa kulit kayu manis, tapi hasilnya melebihi manisnya rasa madu”. Kata-kita bijak di atas sangat sejalan dengan perjalanan hidup politisi H. Sabar Ginting dari Partai Amanat Nasional (PAN) Deliserdang.

Buah sabar yang dipetik H. Sabar Ginting akhirnya mengantarkan dirinya menduduki kursi legislatif Deliserdang kedua kalinya setelah berhasil mengantongi suara terbanyak dari caleg PAN di daerah pemilihan VI meliputi, Kecamatan Delitua, Namorambe, Birubiru, Kutalimbaru, Sibolangit dan Pancurbatu pada pemilu legislatif 9 April 2009 lalu.

Ditemani isterinya Hj. Nurainun Nasution dan putra sulungnya Dr. Romi Ginting serta putrinya Lina Meninta Ginting usai dirinya dilantik bersama 49 anggota dewan periode 2009-2014, Rabu (14/10) lalu, kepada Analisa Sabar Ginting memaparkan, kepercayaan masyarakat yang telah memercayai dirinya merupakan amanah sangat besar yang kini ditampuknya.

“Di pundak saya melekat amanah besar dari rakyat. Sebagai politisi sejati, saya bersama teman-teman terpilih khususnya dari PAN akan berkomitmen mengedepankan kepentingan rakyat yang tidak menyalahi peraturan serta mendukung kebijakan pemerintah yang pro kepada rakyat” tandas mantan Sekretaris PAN Deliserdang ini.

Dukungan Keluarga

Buah kesabaran dan prestasinya di lajur politik lewat kenderaan PAN bukan tidak melewati aral dan rintangan berat. Keberhasilannya tersebut tidak lepas dari dukungan paling besar dari isterinya tercinta dan anak-anaknya yang sangat mendukung penuh.

Bekal dari perjalanan hidupnya yang pahit sebagai kuli pasir telah menempa Sabar Ginting menjadi sosok tidak pantang menyerah dengan keadaan.” Alhamdulillah, Allah SWT terus membantu saya. Saya saja tidak menyangka bisa seperti sekarang ini” ungkapnya diiringi dengan kata-kata tahmid.

Anak-anak paparnya, sempat meminta dirinya agar berhenti dari aktivitas politik. Namun dengan alasan apa yang dilakukannya untuk bisa berkontribusi bagi orang banyak dan lajur lebih luasnya harus melalui kursi legislatif, anak-anak bisa menerima alasannya.

“Secara ekonomi saya sudah sangat mapan dan bersyukur dengan anugerah Allah SWT saat ini. Tapi kata ustadz-ustadz, orang yang terbaik menurut Alquran adalah yang memberikan banyak manfaat bagi orang banyak” tandas Pimpinan CV Ginting Jaya ini.

Banyak “PR”

Lima tahun menjabat anggota dewan periode 2004-2009 diakui mantan Ketua Fraksi PAN ini sangat tidak cukup untuk memperjuangkan aspirasi rakyat Deliserdang. Masih banyak “PR” menumpuk selama periode sebelumnya yang belum terselesaikan.

Upaya untuk mengangkat kesejahteraan rakyat adalah hal utama yang menjadi catatannya. Kesehatan, pendidikan, pertanian dan ekonomi kerakyatan merupakan sektor ril yang harus diperhatikan.

Apalagi sektor kepariwisataan di Deliserdang sangat jauh tertinggal dan belum terberdayakan secara maksimal. Mengukur kekayaan potensi pariwisata khususnya pegunungan, Deliserdang laksana ‘mutiara’ di dalam lumpur. Tidak terlihat kemilaunya, tapi sebenarnya kilaunya menyilaukan mata yang memandang.

Ke depan, dirinya bersama 4 anggota dewan terpilih lainnya dari PAN akan memperjuangkan sektor kepariwisataan dengan memacu anggaran APBD yang selama ini masih terabaikan.

“Yang pasti, kita dari PAN tetap komitmen untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Segala kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat akan kita kritisi. Dan bila baik untuk rakyat, sepenuhnya kita dukung pemerintah” ujarnya seraya meminta doa agar dirinya tetap sehat serta diberikan kekuatan lahir dan batin untuk berbuat.