Senin, 19 Oktober 2009

Potret "Anak Itik"

Potret Buram Komunitas “Anak Itik” Menatap Masa Depan

OLEH : AMIRUL KHAIR

"KEMISKINAN" merupakan kata yang sangat sederhana dan sering kita dengar serta sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat terasa ‘pahit’ laksana empedu ketika merasakan penderitaannya.

Berbagai tindakan kriminal terjadi dikarenakan faktor kemiskinan. Seorang ibu terpaksa mencuri susu di sebuah swalayan di Kota Medan karena ketiadaan uang untuk membeli susu bagi anaknya yang masih kecil agar bisa tetap bertahan hidup. Komplotan pengedar ganja dari Aceh terpaksa meringkuk di sel tahanan Kepolisian Sumatera Utara ketika tertangkap tangan oleh petugas saat membawa barang haram tersebut untuk dipasarkan dan beralasan melakukannya karena tidak memiliki pekerjaan.

Bahkan seorang ibu rela mengeksploitasi anak gadisnya sebagai pelacur untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang terbentur dengan serba kekurangan finansial. Semuanya berangkat dari kemiskinan yang menciptakan karakter rakyat Indonesia nekat dan putus asa menjalani kehidupan sehingga tidak lagi berpikir secara rasional.

Esensi semua permasalahan ini sebenarnya tetap mengarah pada faktor kemiskinan sebagai ‘penyakit’ sosial dan sumber dari implikasi berbagai multi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

‘Senandung’ pilu ini (kemiskinan) masih banyak kita jumpai di belahan bumi nusantara Indonesia yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Potret buram kehidupan rakyat Indonesia yang berada dalam lingkaran kemiskinan dengan berbagai bentuk penderitaan menjadi pemandangan di setiap sudut daerah yang sampai hari ini genap 100 tahun kebangkitan nasional.

Sepertinya kita tidak siap untuk menjadi bangsa yang maju dengan kehidupan sejahtera yang merata dan tetap berkutat mendengar irama dan nada kemiskinan yang menjadi ‘senandung’ pilu kegetiran hati nurani rakyat. Sisi ini pula yang menyebabkan komunitas “Anak Itik” di pinggiran pesisir Pantai Cermin Serdang Bedagai dan Pantai Labu Deli Serdang Sumatera Utara meratap pilu dalam menatap masa depan mereka yang seakan tertutup ‘kabut’ ketidakjelasan.

Komunitas “Anak Itik”

Istilah “anak itik” merupakan sebutan terhadap anak-anak yang setiap hari bekerja membersihkan sampan setiap kali nelayan sepulang dari melaut. Bahkan sebenarnya, istilah “anak itik” juga berlaku bagi mereka yang sudah dewasa, berumahtangga bahkan sampai kakek-kakek bila pekerjaannya membersihkan sampan, menyiapkan perbekalan melaut nelayan sampai menjaga sampan yang tertambat di setiap bagan (tangkahan).

Tidak diketahui siapa yang pertama mencetuskan istilah ini.. Namun setidaknya, istilah ini menurut Basri (63) warga Pantai Cermin terilhami dari ekspresi anak-anak yang mengejar sampan setiap kali nelayan pulang dari melaut persis seperti anak itik ketika akan diberi makan tuannya.

Kehidupan komunitas “anak itik” yang berada di pesisir pantai (dalam konteks tulisan ini fokus terhadap “anak itik’ yang berusia produktif masih belajar) merupakan lakon kehidupan yang sudah menjadi ‘warisan’ turun-temurun yang memiliki sisi kehidupan memprihatinkan. Masa depan mereka untuk menjadi lebih baik lagi melihat fakta yang ada sangat diragukan mengingat mayoritas mereka adalah anak putus sekolah.

Komunitas ini mencerminkan potret kehidupan kelompok masyarakat ‘biasa’ yang ‘luar biasa’. Disebut biasa, karena memang kemiskinan bukan saja dialami komunitas “anak itik’ melainkan jutaan sisi kehidupan masyarakat lainnya yang merasakan hal sama.

Akan tetapi, fenomena ini juga ‘luar biasa’ karena seakan terus dibiarkan tanpa solusi sehingga menancapkan ‘akar’ nya jauh ke dalam bumi sehingga tertancap kuat dan akan sulit untuk membongkarnya kembali.

SISI KEHIDUPAN MEMILUKAN

Selain putus sekolah, mereka juga ‘diselimuti’ kemiskinan yang terus ‘mengintip’ dan sewaktu-waktu kemiskinan tersebut juga dapat menyerang keberlanjutan pendidikan mereka. Kalau mereka tidak lagi mengecap pendidikan dalam usia produktif untuk belajar, mungkinkah masa depan mereka tercerahkan ?

Azhari (15) dan Rudi (15) misalnya, kedua bocah yang tinggal di Pantai Cermin Serdang Bedagai ini terpaksa berhenti sekolah saat berada di bangku Sekolah Dasar (SD). Dikarenakan ekonomi keluarga tidak bisa melanjutkan biaya sekolah keduanya, ditambah lagi kebutuhan ekonomi sehari-hari, pilihan berhenti sekolah terpaksa dilakukan.

“Untuk memenuhi kebutuhan pokok saja kami belum tentu bisa, apalagi buat kebutuhan sekolah. Karena sudah tidak sekolah, saya bekerja menjadi “anak itik” untuk mendapatkan uang jajan sendiri” cerita Azhar mengungkap penyebab dirinya putus sekolah.

Cerita sama diungkapkan Rachmad warga Pantai Labu Deli Serdang yang mengaku, awalnya karena orangtuanya tidak mampu lagi membiayai sekolahnya dirinya berhenti sekolah di tingkat SD. Untuk mencari uang jajan sehari-hari, mencuci sampan nelayan dilakukannya.

Kebiasaan ini terus berlanjut dan menjadi semacam ‘candu’ dikarenakan bisa menghasilkan uang cukup lumayan berkisar Rp100-200 ribu/per hari dengan catatan bila tangkapan nelayan juga banyak. Tapi bisa juga tidak mendapatkan sepeser pun atau hanya Rp.2.000, Rp3.000 - Rp Rp20.000 saja.

Lain lagi cerita Agus (15) warga Pantai Cermin Serdang Bedagai. Dirinya terpaksa menjadi “anak itik” sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan sekolah yang kini duduk dibangku tsanawiyah (setingkat SMP) dikarenakan keuangan orangtuanya yang hanya berlakon sebagai buruh nelayan tidak bisa mencukupi kebutuhan sekolahnya. Dan masih banyak lagi cerita dari puluhan komunitas “anak itik” ini yang cukup memilukan.

Ketua Kelompok Nelayan Usaha Karya Pantai Cermin, Darma ketika ditemui mengatakan, komunitas “anak itik” merupakan sisi kehidupan yang memilukan. Mayoritas mereka adalah anak-anak yang usianya masih produktif untuk beljar.

“Faktor kemiskinan yang memaksa mereka menjadi anak-anak putus sekolah dan harus bekerja sebagai “anak itik”. Ya..itulah keadaan mereka.” tandasnya seraya memprediksikan kuantitas komunitas “anak itik” untuk Desa Pantai Cermin Kanan saja berkisar 30-an.

Untuk mencerahkan nasib komunitas “anak itik”, Kelompok Nelayan Usaha Karya sekira 6 bulan lalu sudah meluncurkan profil kehidupan komunitas “anak itik” dengan tujuan agar mendapat perhatian pemerintah namun sampai sekarang belum juga ada respon.

Dari hasil penelitian studi kasus terhadap komunitas “anak itik” di Pantai Cermin yang dilakukan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Institut Pembaharuan Desa (IPD) Sumatera Utara pada tahun 2007 lalu menyimpulkan bahwa komunitas “anak itik’ merupakan kelompok marjinal (terpinggir) yang tidak punya akses pendidikan dan penyebab utamanya karena faktor kemiskinan.

Direktur IPD Syamsul Bahri S Ag ketika dikonfirmasi memaparkan, dari penelitian studi kasus tentang komunitas “anak itik’ di Pantai Cermin Serdang Bedagai, mayoritas dikarenakan perekonomian keluarga yang tidak mencukupi bukan saja untuk kebutuhan seperti sekolah dan jajan sehari-hari, tapi untuk kebutuhan pokok pun tidak terpenuhi.

Dari penelitian tersebut kata Syamsul, terungkap bahwa motivasi mereka melakoni kehidupan sebagai “anak itik” setidaknya ada 5 klasifikasi yakni, karena sudah tidak sekolah, disuruh orngtua membantu perekonomian keluarga, ingin memiliki penghasilan sendiri, untuk memenuhi biaya kebutuhan sekolah dan terpengaruh ajakan teman.

Motivasi yang diungkapkan komunitas “anak itik” seperti, untuk membiayai kebutuhan sekolah, membantu kebutuhan ekonomi keluarga dan putus sekolah merupakan faktor yang bersumber dari keluarga. Dalam artian bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan tanggung jawab keluarga untuk memenuhinya.

Namun seperti alasan yang dikemukakan oleh anak-anak bahwa keluarga mereka tidak mampu untuk menyediakan kebutuhan mereka karena kondisi sosial ekonominya yang rendah, faktor dari keluarga ini merupakan latar belakang yang menonjol mendorong anak untuk bekerja.

Sedangkan motivasi anak ingin memiliki penghasilan sendiri dan pengalaman relatif kecil. Karena pada dasarnya keinginan mempunyai penghasilan sendiri juga awalnya karena keluarga tidak bisa mengenali apa yang dibutuhkan si anak. Dan klasifikasi motivasi terpengaruh ajakan teman berasal dari lingkungan. Dalam berfikir dan bertingkah laku, manusia dihadapkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta sosial. Fakta sosial menggambarkan hampir seluruh anak-anak yang tinggal di sekitar daerah bagan bekerja sebagai “anak itik” dan tidak sekolah.

Dari fakta yang ada terhadap kehidupan komunitas “anak itik’ ini jelas Syamsul lagi, belitan kemiskinan struktural yang tidak kunjung selesai membuat kehidupan masyarakat pesisir semakin terpuruk. Secara umum, ketidakmampuan masyarakat pesisir mengatasi kesulitan ekonomi keluarga dan orientasi hidup yang kurang apresiatif terhadap pendidikan membuat banyak keluarga masyarakat pesisir “membiarkan’ anak mereka putus sekolah.

Realitas komunitas “anak itik’ ini merupakan satu sisi kehidupan masyarakat kita yang berada di kawasan pesisir pantai nusantara ini. Potret buram mereka sebagai komunitas yang tidak mendapatkan akses pendidikan karena kemiskinan merupakan kenyataan ‘pahit’ namun tidak terbantahkan.

Sebuah tajukrencana yang dilansir Media “Pikiran Rakyat” 10 Pebruari 1998 lalu isinya cukup menyentak dan memotivasi kita untuk bersikap konstruktif dalam menyikapi faktualitas kondisi kehidupan bangsa Indonesia hari ini.

Dituliskan, pemerintah daerah, masyarakat sekitar tak perlu malu, jika ada warganya yang menderita kelaparan. Pemerintah daerah dan masyarakat tak perlu menutup-nutupi kenyataan pahit ini, tapi justru membukanya agar seluruh potensi dalam bangsa kita saling bahu membahu bergotongroyong untuk saling tolong menolong. Kita tak perlu malu, karena sekarang ini adalah tahun-tahun musibah.

Tahun 1997, Indonesia mengalami musim kemarau yang panjang, hutan-hutan terbakar, krisis moneter, dan banyaknya pemutusan hubungan kerja. Dan dari seluruh musibah itu mulai terasa sekarang, apalagi krisis moneter masih terus berlanjut, sehingga seluruh bahan makanan naik harganya. Kita tak perlu malu, karena ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi bersama. Menutup-nutupi masalah ini berarti membiarkan sebagian masyarakat kita yang menderita tambah menderita sampai ke ajal tanpa pertolongan….

Membuka tabir ’kekelaman’ yang dialami komunitas “anak itik’ yang berada di pesisir pantai di atas, hendaknya terutama pemerintah, segera mencarikan solusi guna mengurangi tingginya angka putus sekolah sehingga mereka bisa tetap mendapatkan pendidikan dan meraih masa depan yang lebih baik.

Semoga potret buram komunitas “anak itik” di pesisir dapat tercerahkan secerah mentari pagi yang bersinar dengan tebaran manfaat bagi seluruh penghuni planet bumi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar