Senin, 19 Oktober 2009

Liputan Kemanusiaan


Senandung Kemanusian Dibalik Mega Proyek Bandara Kualanamu

Oleh : Amirul Khair

DAMPAK SOSIAL : Sulitnya nelayan tradisional di pesisir

Pantai Labu mendapatkan tangkapan laut

menjadi salah satu dampak sosial dari megaproyek bandara Kualana



GELOMBANG pasang air laut sore itu, sekira Pukul 16.30 WIB terdengar menderu dengan terpaan angin lumayan menyejukkan mengurangi hawa panas dari terik matahari yang masih gagah menyinari bumi. Beberapa sampan nelayan terlihat lalu lalang dengan iringan suara mesin seperti ‘alunan’ musik yang menjadi hiburan bagi para pengunjung yang sedang asyik bersantai di gubuk-gubuk beratapkan rumbia di pinggiran perairan Pantai Labu Deli Serdang Sumatera Utara sembari menikmati ikan ‘Sombam’ (panggang) dan jenis seafood (makanan laut) lainnya.


Biasanya pemandangan lain yang bisa dinikmati di pingiran perairan Pantai Labu ini yakni, aktivitas para nelayan mencari kepah yang kini tidak lagi terlihat sejak kawasan tersebut menjadi areal pengerukan pasir.


Material pasir yang dikeruk tersebut menurut informasi mencapai sekira 6-10 juta kubik yang digunakan untuk pembangunan mega proyek bandar udara (bandara) internasional Kualanamu pengganti bandara Polonia Medan yang kini sedang dalam proses dan awalnya diperkirakan akan selesai tahun 2009 meski kurang meyakinkan dengan faktualitas di lapangan.


Pembangunan bandara internasional Kualanamu yang diproyeksikan akan menjadi bandara terbesar kedua di Indonesia setelah bandara Soekarni-Hatta Jakarta merupakan mega proyek yang menelan biaya triliunan rupiah.

Kawasan pembangunan bandara ini secara administratif berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang yang melibatkan dua kecamatan yakni, Kecamatan Pantai Labu dan Beringin.


Keberadaan pembangunan Bandara Internasional Kualanamu memiliki kekuatan ‘magnetis’ bagi wilayah sekitarnya. Daerah sekitarnya seperti Kecamatan Pantai Labu laksana disulap dari sampah menjadi emas. Indikasi ini bisa dilihat dari melonjaknya harga penjualan tanah. Semula kurang memiliki nilai jual menjadikan pemiliknya kaya mendadak.


Menurut Umar Baki (60) warga Dusun III Desa Durian Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang yang sejak lahir sudah menetap di sekitar kawasa pembangunan Bandara Kualanamu mengatakan, dulu harga tanah per rantenya hanya 2-3 juta. Perlahan tapi pasti, seiring dengan mulai dibangunnya bandara tersebut, harga tanah per rantenya melonjak tinggi


“Harganya bisa mencapai Rp20 juta per rante. Bahkan mencapai Rp50 juta.. Bergantung lokasinya, Kalau di pinggir jalan, harganya sudah tinggi’ ujarnya.


Pantai Labu sebagai kawasan daerah pesisir dalam kurun waktu yang panjang kurang tersentuh perhatian pemerintah dalam program pembangunan. Namun sejak kawasan tersebut menjadi bagian daerah pembangunan bandara Internasional Kualanamu bersama Kecamatan Beringin, berbagai pembangunan mulai memoles kawasan yang mengandalkan kekayaan bahari dan pertanian yang mayoritas masih menggunakan sistem sawah tadah.


Dampak Sosial dan Lingkungan

Setiap pembangunan pasti memiliki konsekuensi positif dan negatif. Kalau mega proyek pembangunan bandara Kualanamu berdampak kepada percepatan pembangunan di daerah sekitarnya, konsekuensi negatif juga menjadi bagian dari dampak pembangunan bandara yang bakal menjadi ‘pintu’ masuk dan keluar transaksi internasional.


Idealnya, sebuah pembangunan meski memiliki konsekuensi, namun tidak harus mengorbankan masyarakat dan lingkungan sekitar yang sifatnya merugikan. Apalagi bila konsekuensi tersebut merenggut hak-hak azasi selaku manusia (HAM) anugerah dari Sang Maha Kuasa.


Realitas di lapangan menunjukkan, pembangunan bandara Kualanamu telah menyisakan dampak sosial yang kurang manusiawi kepada masyarakat sekitar kawasan bandara tersebut akibat tindakan dan kebijakan sepihak oknum-oknum tertentu yang lebih berorientasi kepada kepentingan pribadi dan sekelompok orang.


Salah satu dampak sosial yang terjadi dan masih menjadi persoalan pelik yakni, rusaknya ekosistem perairan dan pesisir Pantai Labu yang dampak negatifnya sangat dirasakan masyarakat.


Pasca pengerukan pasir di kawasan perairan Pantai Labu yang langsung terhubung dengan Selat Malaka, masyarakat yang berlakon sebagai nelayan tradisional mendapat masalah baru. Pasalnya, hasil laut semakin berkurang yang berimplikasi langsung terhadap pendapatan mereka per hari guna mencukupi kebutuhan hidup.


“Biasanya, setiap kali air laut sedang surut, tangkapan seperti kepah menjadi uang tambahan” ungkap Hasanah salah seorang warga yang sempat penulis konfirmasi di lokasi Pantai Baru Desa Pantai Labu Pekan tempat sehari-harinya ia mencari kepah.


Senada dengan Hasanah, Mahlil (34) warga Desa Sarang Burung yang mengaku sejak kecil sudah melaut bahkan sampai beristeri dan memiliki anak saat sekarang ini, mengeluhkan pendapatannya yang menurun drastis dari sebelumnya pasca pengerukan pasir di Perairan Pantai Labu.


Keluhan sama juga diungkapkan beberapa nelayan di tangkahan Dusun Pematang Nibung Desa Pantai Labu Pekan. Hafiz tokoh nelayan yang sehari-hari menampung hasil tangkapan nelayan tradisional di tangkahan ini juga mengatakan, pasca pengerukan pasir menyebabkan muara sungai yang menjadi lintasan keluar dan masuk sampan-sampan nelayan menjadi tidak efektif.











Teks Foto :

TUMBANGKAN :

Pengerukan pasir di Perairan Pantai Labu untuk

material pembangunan bakal bandara Kualanamu

menyebabkan abrasi dan menumbangkan

pepohonan yang berada di sebagian pesisir pantai tersebut.



Penyebabnya, kondisi air muara sungai tersebut sering mengalami penyusutan tinggi sehingga sampan-sampan tidak lagi bebas melintas dan harus menunggu air pasang mencapai debit lebih tinggi.


“Ini baru salah satu masalah. Masih banyak lagi masalah lain seperti, hasil tangkapan laut berkurang karena ikan semakin sedikit, Di Perairan Pantai Labu ini gak ada lagi terumbu karangnya. Sudah rusak semua. Otomatis gak ada lagi ikannya” papar Hafiz seraya menegaskan, butuh perhatian serius dari pemerintah dan instansi terkait.


Dampak sosial bagi masyarakat lainnya dari pembangunan bandara Kualanamu tidak saja menyebabkan sumber pendapatan ribuan nelayan khususnya tradisonal yang mengandalkan hasil tangkapan laut di perairan Pantai Labu menjadi berkurang. Tapi juga dapat mengancam keselamatan jiwa masyarakat sekitarnya.


Meski masih berkutat pada pro kontra, terkait pengerukan pasir di perairan Pantai Labu mencapai jutaan kubik untuk material pembangunan bandara Kualanamu, dampak negatifnya mulai terasa.


Abrasi pantai di sepanjang bibir pantai yang berpasir kini menjadi pemandangan yang sedikit demi sedikit terus mengancam. Kurun waktu sekira 4-5 bulan terakhir ini kata Tengku Ridwan, pengelola Pantai Muara Indah Desa Denai Kuala, sedikitnya 4-5 meter bibir pantai mengalami abrasi akibat pengerukan pasir yang dikerjakan tanpa perencanaan matang terhadap dampak negatifnya.


Akibatnya, tidak bibir pantai saja yang menjadi korban abrasi, kawasan pengayaan hutan bakau seluas 20 hektar yang disponsori Dinas Kehutanan Pemkab Deli Serdang juga sudah mulai terancam dengan banyaknya pepohonan yang tumbang disebabkan tidak kuat lagi menahan terjangan ombak laut dari arah Selat Malaka.


Kondisi memprihatinkan implikasi sosial dari pembangunan bandara Kualanamu ini turut dirasakan masyarakat Kecamatan Beringin khususnya sepanjang jalan yang menjadi lintasan ratusan bahkan ribuan transportasi pengangkut material dengan tonase tinggi.


Kabulan, warga Desa Beringin Kecamatan Beringin mengaku terganggu dan resah. Debu yang berterbangan berasal dari angkutan-angkutan proyek yang melintas menjadi ‘makanan’ rutin mereka setiap hari.


“Masyarakat sini, kalau panas.makan debu, kalau hujan makan lumpur” ungkapnya.seraya memprediksikan angka masyarakat yang mengaami penyakit ISPA disebabkan debu tersebut akan tinggi.


Jangan Korbankan

Pembangunan merupakan kemutlakan yang meski dilakukan. Tidak ada kemajuan suatu daerah tanpa adanya pembangunan. Akan tetapi, apapun alasannya, sebuah program pembangunan tidak boleh apalagi dibenarkan untuk mengorbankan rakyat. Sebab, rakyat merupakan elemen terpenting yang harus dibela dan pembangunan itu sendiri wajib dalam rangka meningkatkan dan menyejahterakan rakyat.


Ungkap Direktur Eksekutif Institut Pembaharuan Desa (IPD) Syamsul Bahri menyikapi implikasi yang terjadi dari konsekuensi pembangunan bandara Kualanamu yang bermanfaat bagi kemajuan daerah namun masih menyisakan catatan pilu bagi masyarakat sekitarnya.


Seharusnya, pembangunan yang dilakukan pemerintah lebih mementingkan keselamaatan dan kesejahteraan rakyat dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang terjadi implikasi dari sebuah program pembangunan.

Eksplorasi kekayaan alam dan bila benar pengerukan pasir yang dilakukan melewati ambang batas sehingga berdampak rusaknya ekosistem alam dan mengancam masyarakat, maka perlu dilakukan peninjauan kembali atas program pembangunan tersebut.


Ungkapan senada juga dilontarkan Sekretaris Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Sumatera Utara Oslida Martony SKM M Kes, bahwa pembangunan jangan mengorbankan sisi kesehatan masyarakat sebagai hak azasi manusia (HAM) yang harus mereka terima.


“Tidak ada gunanya masyarakat sejahtera tapi tidak sehat. Dan logikanya, tidak mungkin ada orang yang tidak sehat hidupnya bisa sejahtera” tandasnya.


Untuk itu, pembangunan yang ideal harus bisa bersinerji dengan sisi lain dari kehidupan masyarakat sekitarnya termasuk kesehatan masyarakat. Tidak bisa tidak, pembangunan jangan sampai mengorbankan kesehatan masyarakat.


“Tidak bisa sebuah pembangunan itu dikatakan berhasil bila kesehatan masyarakatnya terganggu” tandas Oslida.

Sementara aktvis lingkungan hidup yang juga mantan Direktur Eksekutif “Lentik” Rajidt Charamsah menegaskan, sebuah pembangunan sedikitnya merujuk kepada 4 konsep ideal yang langsung bersinggungan dengan masyarakat.


Pertama, kedaulatan rakyat sebagai penarik manfaat dari kekayaan ekologis yang ada yakni masyarakat itu sendiri tidak boleh diabaikan. Kedua, jaminan keberlangsungan fungsi kawasan ekologi yang menjadi harapan dan sumber pendapatan tetap bagi masyarakat. Sebab, bila jaminan keberlangsungan ini tidak dijaga, maka sumber pendapatan masyarakat itu juga turut terhenti.


Selanjutnya yang ketiga, distribusi adil terhadap pemanfaatan ekonomi bagi masyarakat sekitar sehingga masyarakat ikut serta merasakan manfaat pembangunan sesuai dengan kelayakan dan potensi yang dimiliki.


Keempat, pengelolaan terpadu beragam kepentingan dalam skala yang tepat. Artinya, semua manusia punya kepentingan. Pemerintah, pihak pengembang dan masyarakat punya kepentingan. Pembangunan bandara Kualanamu terkait kepetingan berbagai pihak, namun tidak menjadikan kepentingan tersebut mengabaikan kepentingan orang banyak.


Godaan Kultur

Permasalahan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat implikasi dari sebuah pembangunan tidak terlepas dari godaan kultur yang ada Godaan kultur inilah yang menjadi hambatan sinerjisasi pembangunan sehingga percepatannya terhambat.


Sedikitnya papar Rajidt lagi, ada 5 macam godaan kultur yang terjadi di masyarakat dan sangat menggangu akselerasi sebuah pembungan dimana saja ,bila godaan kultur ini tidak bisa diatasi.


Kultur ’Mulung’merupakan karakter masyarakat pemalas yang ingin memanen tanpa menanam. Kultur ini menyebabkan seseorang tidak peduli dengan hak-hak orang lain. Baginya, yang penting menghasilkan dan menguntungkan untuk dirinya.


Selanjutnya, kultur ‘instan’ menjadi mental negatif yang tumbuh di masyarakat dengan prinsip, sedikit bekerja tapi mau untung besar yang tidak sesuai dengan potensinya. Kultur negatif lainnya bersifat ‘klenik’ yakni, ingin mendapatkan keuntungan melalui jalan pintas yang tidak wajar dan tidak dbenarkan baik norma agama, sosial maupun hukum..


Godaan kultur yang banyak diidap masyarakat dan sangat berbahaya adalah kultur ‘porno’. Kultur ini telah membuat pelakunya tidak lagi mempertimbangkan rasa malu sehingga seenaknya saja berbuat meski apa yang dilakukannya merampas hak-hak orang lain.


Godaan kultur ini jelas Rajidt, sangat berbahaya. Ada istilah “urat rasa malunya sudah putus” sehingga apapun masukan positif tidak akan berlaku bagi tipe masyarakat yang sudah mengidap kultur ‘porno’ ini.


Dan yang terakhir, sering dan tanpa disadari, kita sering “Unjuk gigi” dengan tujuan negatif. Kultur ‘Pamer’ juga menjadi salah satu kultur yang sering dan banyak dijumpai di masyarakat sehingga sulit bagi kita semua untuk bisa menghasilkan pembangunan bila kultur ini masih melekat.


Menurut Rajidt, semua godaan kultur yang telah dipaparkan harus diubah bila ingin mencapai 4 konsep ideal pembangunan yang lebih baik meski masih banyak aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan.


Semoga pembangunan bandara Kualanamu bisa berimplikasi positif bagi masyarakat khususnya mereka yang berdomisili di sekitar kawasan bakal bandara tersebut. Jangan sampai senandung kemanusiaan ini terus menggaung, ‘menghiasi’ dan mendambah daftar baru masyrakat yang tercederai akibat pembangunan.



* Liputan Ini diikutsertakan pada lomba jurnalistik Anugerah Adiwarta Sempoerna Awrad 2009 dan masih dalam proses penilaian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar